Dengan simpanan Rupiah dan aset sebesar US$ 310 juta, jadilah ia satu dari duapuluh orang paling makmur di tanah air pada tahun 2006. Hebatnya, itu semua dikantonginya di usia yang relatif muda, yakni 40-an. Begitu luar biasa dirinya, bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah puluhan tahun menjadi penerus bisnis keluarga, tidak bisa mengungguli total kemakmurannya.

Latar belakang pendidikannya adalah dokter gigi. Tetapi alih-alih buka praktik sebagai dokter gigi, ia lebih getol buka usaha kecil-kecilan semenjak kuliah di Universitas Indonesia. Diawali kucuran dana Rp 150 juta dari Bank Exim (sekarang sudah dilebur menjadi Bank Mandiri), dengan nyali yang menyala-nyala, pria kelahiran 16 Juni 1962 ini mendirikan pabrik sepatu anak-anak dengan merek Butterfly.

Di bawah panji Para Group yang dimilikinya, ia mengambilalih Bank Mega pada tahun 1996 dan menyulap Bank Tugu menjadi Bank Mega Syariah akhir tahun 90-an. Imperium bisnisnya yang lain adalah Trans TV dan Trans 7, yang didukung 20-an menara pemancar. Program-program televisi andalannya diklaim lebih kreatif ketimbang saingan-saingannya. Sebut saja Bajaj Bajuri, Extravaganza, dan Empat Mata. Ia juga membangun Bandung Supermall yang mentereng di lahan seluas 3 hektar yang menelan dana nyaris Rp 100 milyar. Siapakah dia? Tak lain, tak bukan, dialah Chaerul Tanjung.

Pengusaha penuh nyali yang pernah dianugerahi oleh sebuah media cetak sebagai salah seorang tokoh bisnis paling berpengaruh ini, dinilai prestasinya tidak sesederhana penampilannya. Tiga pilihan bidang bisnisnya –yakni keuangan, multimedia dan properti– menunjukkan prestasi yang serba kemilau dan memukau. Bahkan terealisir dalam waktu yang sangat singkat! Salah satu rahasianya, selain bernyali, sejauh ini ia dianggap lihai dan piawai menjalin hubungan dengan penguasa dan sesama pengusaha, termasuk keluarga Salim.

Uniknya, ia pernah digosipkan dekat dengan Maia Ahmad, personil Ratu. Apalagi Maia tiba-tiba bisa saja menjadi bintang tamu rutin di Extravaganza. Terlepas itu, sebagai pemimpin di Yayasan Indonesia Forum, dia merumuskan Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030 yang disebut-sebut Presiden SBY sebagai visi nasional. "Kita memerlukan suatu pandangan objektif terhadap masa depan bangsa Indonesia dalam jangka panjang. Yakni, suatu visi yang positif dan optimis bahwa kita bisa menjadi negeri terpandang di mata dunia internasional," ujarnya.

Awal 2006, Chaerul dikabarkan memasuki bisnis pembangkit listrik energi panas bumi (geothermal) dengan meneken kesepakatan kerja sama operasi dengan Direktur Utama PT Pertamina Widya Purnama di Jakarta. Investasi nekat ini diperkirakan menguras biaya US$ 1,5 miliar atau Rp 15 triliun. Modal pengembangannya berasal dari patungan antara Grup Para dengan Pertamina. Bila masih kurang, ia berencana menambalnya dengan membuka infrastructure fund, sehingga investor lain bisa nimbrung.

Proyek ini akan berjalan selama 10 tahun dan rencananya akan menggamit PT PLN sebagai pembeli listrik. Betul-betul cerdik! Tentunya listrik dari panas bumi lebih murah dibandingkan dari pembangkit yang berbahan bakar minyak. Ancar-Ancarnya, listrik besutannya akan dijual 25 persen lebih murah. Ia adalah pengusaha pertama yang berinvetasi di bisnis panas bumi. Selama ini pengusaha lain tidak bernyali menerobos bisnis ini, karena dicap rawan resiko. Berani, itulah ciri utama dirinya yang membedakannya dengan pengusaha kebanyakan. Tetapi bukan sekedar berani, melainkan keberanian yang dibungkus dengan kreativitas.

0 pemuda yang komen